Kemenhub Siap Atur Perjalanan Saat Covid-19 Jadi Endemi

 

Jubir Kemenhub Adita Irawati mengungkapkan pemerintah terus menyesuaikan aturan perjalanan masyarakat sejak pandemi berlangsung pada Maret 2020 lalu.Jubir Kemenhub Adita Irawati mengungkapkan pemerintah terus menyesuaikan aturan perjalanan masyarakat sejak pandemi berlangsung pada Maret 2020 lalu.

Jakarta, CNN Indonesia — Kementerian Perhubungan (Kemenhub) siap mengatur regulasi perjalanan bagi masyarakat bila skala penularan covid-19 meningkat dari pandemi menjadi endemi. Namun, kementerian belum memberi kisi-kisi sekiranya aturan atau syarat perjalanan apa saja yang akan disesuaikan lebih dulu.

“Kami sudah siap apabila memang kita akan masuk ke dalam situasi endemi dan di situ juga regulasi akan menyesuaikan,” ujar Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati di forum diskusi virtual bertajuk Tren Aturan Mobilisasi di Kala Pandemi, Rabu (15/9).

Menurutnya, penyesuaian regulasi ini bukan hal baru yang perlu dilakukan Kemenhub. Sebab, pemerintah sejatinya terus melakukan penyesuaian aturan perjalanan bagi masyarakat selama pandemi berlangsung sejak Maret 2020.

 

Kendati begitu, ia mengklaim regulasi di sektor transportasi merupakan salah satu aturan yang paling konsisten dan tegas pemberlakuannya di lapangan. Hal ini, katanya, tercermin dari sejumlah aturan yang tidak banyak berubah, khususnya di era kebijakan PPKM.

“Sejak PPKM Level 1-4 diterapkan, peraturan sektor transportasi selalu konsisten. Mungkin ada beberapa yang dilakukan penyesuaian terkait dengan transportasi udara yang sudah membolehkan antigen dan vaksin lengkap untuk penerbangan Jawa-Bali. Tapi di luar itu sebenarnya masih sama dan masih konsisten,” katanya.

Tak hanya konsisten, Adita turut mengklaim bahwa regulasi di sektor transportasi di Indonesia cukup ketat bila dibandingkan dengan negara-negara lain.

“Karena selain vaksinasi, juga sudah diterapkan hasil tes, baik yang menggunakan antigen maupun PCR. Negara-negara lain dengan karakteristik yang hampir sama dan jumlah penduduk yang juga besar dengan negara yang juga berkepulauan, rasanya screening-nya tidak seketat di Indonesia,” jelasnya.

 

Penuh Tantangan

Sementara menurut Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carrier Association (INACA) Bayu Sutanto, regulasi perjalanan masyarakat di era pandemi memang sudah cukup ketat dan baik. Misalnya, syarat vaksin covid-19, hasil pemeriksaan melalui skema PCR dan antigen, hingga penggunaan aplikasi PeduliLindungi.

Namun, masih ada tantangannya, yaitu dalam bentuk edukasi dan literasi kepada masyarakat. Hal ini membuat operator kewalahan di lapangan.

“Bagi operator di sektor udara, kendalanya adalah ada sebagian orang yang tidak paham dengan aturan baru tersebut. Masih ada sebagian orang yang belum paham sehingga ada sedikit miss communication,” ungkap Bayu pada kesempatan yang sama.

Untuk itu, menurutnya, perlu ada gerakan literasi kepada masyarakat. Gerakan ini bukan hanya perlu dari pemerintah dan operator, tapi juga seluruh pihak agar regulasi yang sudah dibuat bisa ditaati.

Senada, pengamat transportasi Alvin Lie juga melihat masih banyak tantangan di lapangan di tengah ketatnya regulasi perjalanan masyarakat. Pertama, vaksinasi covid-19 menjadi syarat perjalanan, tapi realisasinya masih minim.

Data yang dikantonginya mencatat jumlah masyarakat yang sudah mendapati vaksin covid-19 dosis pertama baru 30 persen dari total populasi. Sementara yang sudah lengkap sampai dosis kedua baru 20 persen.

“Tentunya mereka yang belum vaksinasi tapi perlu berpergian akan jadi tantangan tersendiri, dan ini jadi tantangan bagi operator airlines karena pasarnya menyusut,” ucap Alvin.

Kedua, terkait syarat perjalanan berupa hasil pemeriksaan negatif covid-19 menggunakan skema PCR. Alvin mengaku pernah mendapat curhatan bahwa harga PCR di luar Jawa, tepatnya di Kendari, Sulawesi Tenggara lebih tinggi daripada harga tiket pesawat dari Kendari ke Makassar misalnya.

“Selain itu ada juga keluhan (hasil PCR) ini tiga hari baru keluar hasilnya, padahal masa berlaku tes PCR hanya 2×24 jam sejak sampel diambil,” imbuhnya.

Ketiga, petugas di lapangan masih ada yang tidak konsisten menjalankan regulasi. Hal ini, sambungnya, ditemukannya saat berpergian menggunakan pesawat melalui Bandara Internasional Soekarno Hatta pada beberapa waktu lalu.

Pada saat itu, katanya, petugas bandara tidak melakukan scan barcode dari aplikasi e-HAC. Petugas hanya melihat barcode saja, sehingga rentan terjadi ketidakvalidan data dan merupakan bentuk penerapan regulasi yang tidak konsisten.

Keempat, penggunaan aplikasi PeduliLindungi. Menurutnya, aplikasi ini masih memiliki kekurangan, salah satunya tidak memuat seluruh hasil pemeriksaan masyarakat secara otomatis.

Saat ini, data kesehatan masyarakat yang bisa masuk ke aplikasi tersebut hanya dari lembaga yang sudah bekerja sama saja. “Akibatnya masih banyak yang harus validasi manual di bandara. Hal ini perlu ditingkatkan, tidak hanya demi perjalanan yang lebih lancar tapi memudahkan tracing, pelacakan ketika terjadi penularan,” tuturnya.

Tantangan terakhir, ada isu kepercayaan dari masyarakat terkait penggunaan aplikasi e-HAC dan PeduliLindungi setelah isu kebocoran data. Untuk itu, ia meminta pemerintah harus segera menjamin dan melindungi data masyarakat di aplikasi tersebut.

“Ini yang membuat masyarakat was-was dan tidak sedikit yang uninstall PeduliLindungi, bahkan install hanya ketika diperlukan, tentu ini akan turunkan efektivitas PeduliLindungi karena seharusnya on 24 jam ketika kita pergi,” tandasnya.

Source : cnnindonesia.com