PROYEK 35.000 MW: Swasta Akui Sering Tersandung Inkonsistensi Kebijakan

Yusuf Waluyo Jati Senin, 19/09/2016 09:12 WIB

16Ilustrasi PLTU

Bisnis.com, JAKARTA – Inkonsistensi kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dinilai menjadi hambatan utama progam penyediaan listrik sebesar 35.000 megawatt (MW). Pasalnya, pihak swasta yang menerima tanggung jawab membangun 25.000 MW seringkali tersandung masalah inkonsistensi ini.

Ketua Asosiasi Produsen Listrik Swasta (APLS) Ali Herman Ibrahim menjelaskan pihaknya banyak menemui kendala perizinan di lapangan. Padahal amanat dari pemerintah pusat, pemda harus mempermudah urusan investasi yang berkaitan dengan percepatan ekonomi.

Presiden Joko Widodo beserta Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bahkan sudah berulang kali menekankan hal ini. “Masalahnya di lapangan, banyak hambatan perizinan seperti sertifikasi lahan dan lain-lain,” kata Ali dalam keterangan resminya, Senin (19/9/2016).

Menurutnya, banyak pihak berwenang yang tak berkomitmen dengan kebijakan pemerintah pusat. Ali sendiri berharap proses birokrasi ini bisa berlangsung dalam sekali jalan, tidak dihambat-hambat seperti yang saat ini terjadi. Dia lantas mencontohkan proses izin di daerah-daerah tertentu yang memakan waktu hingga setahun.

Di Pulau Jawa saja misalnya, lanjut dia, satu PLTU membutuhkan lahan 20 hektare. Bisa dibayangkan jika diperlukan waktu satu tahun untuk mengurus perizinan 1 hektar lahan. Dia berharap pemerintah daerah bisa mengerti kebijakan pusat dan melaksanakannya. Terlebih proyek raksasa 35.000 MW sudah dicanangkan sejak 2014.

“Sudah tahu proyek 35.000 MW itu sejak 2014, mestinya semua (Pemda) mengerti lokasi-lokasinya, mestinya semua aparatur pemerintahan mendukung mempercepat, jangan memperlambat,” ujar Ali.

Pemerintah perlu membuat sistem dan mekanisme terkait poros birokrasi ini. Harus ada reward and punishment untuk menjaga sistem supaya ditegakkan. Sebab, jika proyek ini tidak tercapai maka defisit listrik akan menjadi nyata.

Intensitas pemadaman listrik bisa bertambah akibat pasokaan listrik yang minim. “Bisa jadi akhirnya dibuat emergency sewa pembangkit. Nanti mahal listriknya, ini tidak sustainable namanya,” kata Ali.

Partisipasi perusahaan listrik swasta yakni independent power producers (IPP) maupun private power utility (perusahaan listrik yang terintegrasi dengan kawasan industri) dalam program 35.000 megawatt mendesak dilakukan untuk mempercepat ketersediaan pasokan listrik berkualitas. Di Thailand, contohnya, telah menerapkan konsep perusahaan listrik swasta ini sejak 2004.

Dalam 10 tahun perjalanannya, ucapnya, program listrik swasta mampu menambah pasokan listrik hingga 4.000 MW ke dalam sistem kelistrikan negara itu. Untuk mendorong swasta berinvestasi di pembangkit listrik, Thailand juga mendorong BUMN kelistrikan di negara tersebut menyerap 75% atau maksimal 90 MW dari perusahaan listrik swasta.

Sebelumnya, pihak swasta nasional mulai mengembangkan private power utility atau perusahaan listrik swasta. Ada sedikitnya lima perusahaan yang bergerak di bidang itu di tanah air. Contohnya seperti PT Bekasi Power, PT Cikarang Listrindo Tbk, Java Integrated Industrial anf Port Estate (JIIPE) Gresik, dan PT Kariangau Power.

Pengamat Energi Listrik Faby Tumiwa sepakat dengan Ali. Faby menyayangkan dibubarkannya Unit Pelaksana Program Pembangunan Kelistrikan (UP3K) oleh Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan.

Sebab, menurut Faby, unit tersebut sangat membantu dalam menginventarisir masalah-masalah seputar proyek 35 Ribu MW. Instansi yang dibentuk Sudirman Said itu bahkan sudah teruji melakukan identifikasi persoalan-persoalan perizinan di daerah dan menyelesaikannya.

Tak hanya itu, unit tersebut juga bisa “terbang” ke Kementerian lain seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Perhutanan mengkoordinasikan masalah yang terjadi.

“Ada beberapa pembangkit di Cirebon yang sangat terbantu dengan kehadiran UP3K, sayangnya dibubarkan Pak Luhut. Padahal untuk mengurangi hambatan yang terjadi saya kira sangat berguna,” tuturnya.

Dengan pembubaran ini, Faby melihat kondisi tersebut sebagai tantangan bagi pemerintah. Terutama untuk membuat terobosan dan menyelesaikan tugas-tugas yang sudah dimulai di UP3K.

“Itu tantangannya, dalam birokrasi ini ada tidak fungsi yang dilakukan UP3K ini bisa dilakukan. Kalau tidak ya harus dipikirkan bagaimana melakukan terobosan terkait program 35.000 MW,” katanya.

Editor : Yusuf Waluyo Jati

Source : bisnis.com