Menjaga Blok Masela

SUDAH sangat jamak, gula yang teramat manis pasti bakal diperebutkan para semut. Bahkan, ketika sudah ada semut yang memegang bongkahan gula itu sekalipun, semut-semut lain terus berusaha merebutnya. Mereka melakukannya baik dengan terang-terangan maupun dengan tipu muslihat untuk menyamarkan maksud sesungguhnya. Cerita tentang lapangan gas abadi Blok Masela di Laut Arafura, Maluku, yang kini ramai diperbincangkan dan diperdebatkan, mirip dengan kisah gula dan semut tersebut. Dengan cadangan terbukti sebesar 10,73 triliun kaki kubik (tcf) dengan jangka waktu produksi komersial 30 tahun, Blok Masela memang sangatlah manis.

Karena itu, berbondong-bondonglah berbagai gerbong kepentingan mencoba merangsek masuk demi ikut mencicipi manisnya blok tersebut.

Celakanya. seperti yang sudah-sudah, tarik-menarik kepentingan itu tidak saja membuat perdebatan tentang pengelolaan Blok Masela menjadi tidak produktif, tapi juga tidak sehat. Kepentingan nasional yang seharusnya jadi tujuan akhir dari pengelolaan itu justru bisa terabaikan. Kepentingan nasional tentu bukan saja soal uang yang bakal masuk dari hasil produksi gas Blok Masela. Lebih dari itu, negara berkepentingan menjaga iklim investasi di sector migas. Isu Blok Masela, bila tak dijaga betul, dapat berpotensi meruntuhkan kepercayaan investor.

Jika pemerintah salah mengambil jalan, bukan tidak mungkin langkah-langkah perbaikan iklim investasi yang kini sedang diusahakan seketika bisa berantakan.

Gejala itu sejatinya sudah terlihat. Gara-gara berdebat tentang pilihan pengembangan Blok Masela mesti dilakukan di darat (onshore) atau di kilang terapung (offshore), pemerintah mesti menunda keputusan terkait dengan proposal plan of development (PoD) yang diajukan investor lama, Inpex Corporation. Padahal, mestinya keputusan itu dikeluarkan pada Oktober 2015.

Jika mau berkaca pada hasil sejumlah penelitian yang valid, sebetulnya pilihan dapat dengan mudah dijatuhkan. Hasil kajian dari konsultan Independen Poten and Partners yang disewa Kementerian ESDM, misalnya, menyebutkan bahwa skema terbaik pengembangan Blok Masela ialah secara offshore dengan menggunakan kilang terapung gas alam cair (FLNG).

Begitu pula berdasarkan hitung-hitungan LPM UI, offshore terbukti memiliki efek ikutan yang jauh lebih baik ketimbang onshore. Pun, dalam proposal pengembangan Blok Masela yang diajukan Inpex ke SKK Migas September tahun lalu, kontraktor blok migas di Laut Arafura itu mengajukan skema pengembangan blok secara offshore.

Namun, keputusan yang mestinya bersifat teknis itu kini malah berkembang menjadi perdebatan yang kontraproduktif. Sampai-sampai Presiden pun ikut ditarik-tarik karena belakangan muncul pihak yang ngotot menyorongkan skema onshore dengan dalih skema itu memberikan lebih banyak manfaat kepada masyarakat sekitar.

Kalau dalih itu benar, tentu kita sambut baik. Namun, yang perlu diwaspadai ialah kemungkinan adanya agenda lain di balik kengototan itu. Muncul kesan ada semacam upaya menjegal investor lama dengan menggembar-gemborkan keunggulan model pengolahan onshore dan kemudian mencari kesempatan memasukkan investor baru ke Masela.

Kini, pemerintah tidak hanya dituntut lebih cepat memutuskan PoD karena sudah terlambat lima bulan, tapi juga mesti berpikir keras agar tak terjerumus pada agenda kepentingan segelintir orang dengan mengorbankan kepentingan nasional yang lebih besar. Setop segala kepentingan di luar itu, bahkan kepentingan-kepentingan yang seolah-olah demi kepentingan nasional, padahal sejatinya sekadar untuk pribadi dan kelompok.

Source: Media Indonesia — No. 12703/Tahun XLVII — 2 Maret 2016