Armada Laut Nasional Belum Siap, ‘Beyond Cabotage’ Ditunda

JMOL. Seharusnya, mulai bulan Mei tahun 2018 ini, pengangkutan ekspor-impor komoditi CPO, Batu bara dan Beras sudah diwajibkan menggunakan kapal nasional dan asuransi nasional. Kewajiban tersebut diatur oleh Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 82 Tahun 2017 adalah ketentuan penggunaan angkutan laut dan asuransi nasional untuk ekspor dan impor barang tertentu.

Namun, pada akhir Februari 2018 Menteri Perhubungan (Menhub) dan Menteri Perdagangan (Mendag) akhirnya menyepakati untuk menunda beleid tersebut karena keraguan atas ketersediaan armada. Pemerintah lebih memilih penerapan secara bertahap, menyesuaikan dengan kesiapan armada nasional.

Dalam Permendag Nomor 82 Tahun 2017, eksportir yang mengekspor Batubara dan/atau CPO (Crude Palm Oil), pengangkutannya wajib menggunakan angkutan laut yang dikuasai oleh perusahaan angkutan laut nasional. Kewajiban serupa diterapkan pada importir beras. Selain ketiga komoditi di atas, importansi  barang pengadaan pemerintah juga diwajibkan menggunakan kapal berbendera merah putih. Kewajiban penggunaan kapal nasional di atas juga dibarengi dengan kewajiban penggunaan jasa asuransi yang disediakan oleh perusahaan asuransi nasional.

Dalam ‘nomenklatur’ pelayaran nasional, Permendag nomor 82 Tahun 2017 di atas, oleh INSA (Indonesian National Shipowner’s Association) diistilahkan sebagai “Beyond Cabotage”, yang merupakan perluasan dari asas cabotage yang sukses diterapkan pada pelayaran domestik antar pulau. Pengenaan asas cabotage pertama kali dimulai melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional, dan kemudian diperkuat dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran pada tahun 2008.

Roadmap Angkutan Laut Ekspor

Kesiapan (baca: ketersediaan) kapal berbendera merah putih merupakan sebab utama ditundanya penerapan Permendag 82/2017.  Pasalnya, untuk mengangkut batu bara tujuan ekspor, misalnya, diperlukan kapal cargo bulk (lazim disebut bulker) berukuran besar (di atas 40.000 MT) agar dicapai skala ekonomis yang optimal. Ekspor batu bara Indonesia ke berbagai negara (didominasi China dan India), sejak tahun 2012 sudah menembus angka 300 juta ton per tahun.

Sementara ketersediaan Bulker milik pelayaran nasional, menurut data INCAFO UI (Indonesia Cabotage Advocation Forum), tercatat sebanyak 35 unit yang terdiri atas jenis Panamax, Handymax dan Handisize. Itu pun sekitar 80% sudah terikat kontrak pengangkutan.

Melalui perhitungan secara kasar. Sebuah bulker tipe Panamax (70.000 MT) dengan asumsi dua trip perbulan untuk rute Kalimantan – China, dalam satu tahun mampu mengangkut hingga 1,7 juta ton batu bara. Maka untuk mengangkut 100 juta per tahun ton batu bara ekspor ke China dalam setahun, diperlukan setidaknya 60 unit bulker tipe Panamax.

Jika harga sebuah kapal bulker (new bulding) tipe Panamax 30 juta dollar, maka dibutuhkan investasi sebesar 24 Triliun Rupiah untuk 60 unit. Silahkan dihitung waktu yang dibutuhkan untuk membangun 60 unit, jika dibutuhkan dua tahun untuk membangun sebuah kapal tipe Panamax.

Dengan ongkos angkut sebesar USD 6.5/ton (CDFI: China Import Dry Bulk Freight Index), kapitalisasi jasa pengangkutan batu bara ekspor di atas sangat besar, mencapai 650 juta Dollar atau 8,7 Triliun rupiah dalam setahun. Ini belum menghitung ekspor ke India, Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara lainnya. Juga belum menghitung pendapatan dari jasa asuransi.

Singkat cerita, beleid ‘beyond cabotage’ memang menggiurkan. Namun tantangannya juga besar. Melibatkan investasi yang besar, waktu yang cukup, dan -yang paling penting- kebijakan pembiayaan yang tepat. Oleh karena itu, menunda dan kemudian menyusun road map merupakan pilihan yang terbaik untuk saat ini. [AF]

 

Source: Jurnalmaritim.com