Perang Dagang Tekan Minyak Sampai 2 Persen pada Pekan Lalu

Perang Dagang Tekan Minyak Sampai 2 Persen pada Pekan Lalu

Jakarta, CNN Indonesia — Harga minyak mentah Brent kembali merosot pada pekan lalu. Pelemahan masih dipengaruhi oleh kekhawatiran investor terhadap memanasnya tensi perdagangan dunia yang dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi dunia.

Dilansir dari Reuters, Senin (10/6), harga minyak mentah berjangka Brent merosot hampir 2 persen secara mingguan menjadi US$63,29 per barel pada penutupan perdagangan Jumat (7/6). Sementara, harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) naik 1 persen menjadi US$53,99 per barel.

Pada Rabu (5/6), kedua harga acuan menyentuh level terendahnya sejak Januari 2019.  Pemerintah AS juga mengancam akan memberlakukan tarif impor yang berasal dari mitra dagang utamanya, Meksiko.

Presiden AS Donald Trump pada Jumat (7/6) lalu menyatakan AS berpeluang besar untuk mencapai kesepakatan dagang dengan Meksiko. Namun, jika kedua negara gagal mencapai kesepakatan, AS mengancam akan mengenakan tarif sebesar 5 persen terhadap impor dari Meksiko pada awal pekan ini.

Lihat juga:Harga Minyak Dunia Merangkak Jelang Pertemuan OPEC+

Namun, AS akhirnya memutuskan untuk menunda pengenaan tarif karena kedua negara mencapai kata sepakat. Karena lemahnya data ekonomi dan konflik perdagangan yang masih terjadi, Commerzbank merevisi turun proyeksi untuk harga Brent pada kuartal III dari US$66 menjadi US$73 per barel.

Pelemahan harga minyak pada pekan lalu membuat manajer keuangan memangkas posisi beli bersih minyak mentah AS pada pekan lalu. Hal itu diungkap oleh Komisi Perdagangan Berjangka Komoditi AS (CFTC) pada Jumat (7/6) lalu.

Kelompok spekulator juga memangkas posisi kontrak berjangka dan opsi di New York dan London sebesar 13.196 menjadi 198.884 kontrak pada pekan yang berakhir 4 Juni 2019.

Di sisi lain, harga minyak mendapatkan sokongan dari pernyataan Arab Saudi yang menyatakan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) hampir sepakat untuk memperpanjang kesepakatan pemangkasan produksi yang sedianya berakhir pada Juni mendatang.

Pada sebuah konferensi di Rusia pekan lalu, Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih menyatakan OPEC dan sekutunya seharusnya memperpanjang kesepakatan pemangkasan produksi minyak.

Ia menyatakan anggota OPEC sudah hampir sepakat. Namun, pembicaraan lebih lanjut masih harus dilakukan dengan negara non-OPEC yang sebelumnya berpartisipasi pada kesepakatan pemangkasan produksi sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) yang telah berjalan sejak awal tahun itu.

Pasokan juga dibatasi oleh pengenaan sanksi AS terhadap ekspor minyak dari Venezuela dan Iran. Pada Kamis (6/6) lalu, AS memperketat tekanan terhadap perusahaan minyak pelat merah Venezuela dengan menegaskan ekspor pelarut (diluents) melalui pengapalan internasional juga dapat dikenakan sanksi.

Di AS, perusahaan energi pada pekan lalu memangkas jumlah rig minyak ke level terendahnya sejak Februari 2018 menjadi 789 rig. Baker Huges mencatat pengebor minyak memangkas 11 rig yang merupakan penurunan mingguan terbesar sejak April 2019.

Harga minyak juga mendapatkan dorongan dari penguatan pasar ekuitas setelah penurunan tajam pertumbuhan lapangan kerja AS mengerek ekspektasi pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS (The Federal Reserve).

Lihat juga:Stok AS Turun di Bawah Ekspektasi, Harga Minyak Dunia Merosot

“Apa yang kita lihat adalah bank sentral global siap merespon perlambatan ekonomi,” ujar Analis Price Futures Group Phill Flynn di Chicago.

Menurut Flynn, jika kondisi itu juga terjadi di AS maka pasar akan melihat lebih banyak stimulus yang disuntikkan ke pasar. (sfr/agt)

Source :cnnindonesia.com