Harga Minyak Brent Sentuh US$86 per Barel Meski Stok AS Naik

Harga Minyak Brent Sentuh US$86 per Barel Meski Stok AS Naik

Jakarta, CNN Indonesia — Harga minyak mentah dunia menguat hampir dua persen pada perdagangan Rabu (3/10), waktu Amerika Serikat (AS). Penguatan terjadi seiring perhatian pasar yang terpusat pada pengenaan sanksi AS terhadap Iran, mengacuhkan kenaikan stok minyak mentah AS terbesar tahun ini dan laporan produksi minyak Arab Saudi dan Rusia yang lebih tinggi.

Dilansir dari Reuters, Kamis (4/10), harga minyak mentah Brent berjangka naik US$1,49 atau 1,8 persen menjadi US$86,29 per barel. Selama sesi perdagangan berlangsung, harga Brent sempat menyentuh level US$86,74 per barel, tertinggi sejak 30 Oktober 2014.

Penguatan harga juga terjadi pada hanya minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$1,18 atau 1,6 persen menjadi US$76,41 per barel, setelah sempat menyentuh level US$76,90 per barel.

Kedua harga acuan sempat melandai setelah pemerintah AS merilis angka persediaan minyak mentah AS. Kemudian, tak lama setelahnya harga minyak kembali menanjak.

“Tidak ada yang berarti antara sekarang dan 4 November 2018,” ujar Direktur Perdagangan Berjangka Mizuho Bob Yawger di New York, merujuk pada tanggal sanksi AS terhadap sektor perminyakan Iran berlaku efektif.

Lihat juga:BPK Sebut Pertamina Derita Kurang Bayar Rp26 Triliun

Data persediaan minyak mentah AS menunjukkan peningkatan terbesar untuk tahun ini tetapi pasar mengacuhkannya an harga minyak mengalami reli.

Badan Adminitrasi Informasi Energi AS melansir stok minyak mentah AS melonjak delapan juta barel pekan lalu, tertinggi sejak Maret 2017. Realisasi tersebut empat kali lipat dari proyeksi analis.

“Kelompok yang berspekulasi mengambil kesempatan untuk membeli saat harga turun,” ujar Yawger.

Di awal sesi perdagangan, harga minyak mentah sempat tertekan lebih dalam setelah Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih menyatakan kerajaan telah mengerek produksi hingga mencapai 10,7 juta barel pada Oktober dan akan memompa minyak lebih banyak pada November. Sebagai catatan, produksi minyak terbesar Arab Saudi terjadi pada November 2016 yang mencapai 10,72 juta barel per hari (bph).

Empat sumber Reuters menyatakan Rusia dan Arab Saudi telah sepakat untuk mengerek produksi minyak September demi meredakan kenaikan harga di pasar. Rencana tersebut telah diinformasikan kepada AS sebelum menggelar pertemuan dengan negara produsen minyak lain di Aljazair bulan lalu.

Lihat juga:Mendag Sebut Tekanan Rupiah Berkurang Jika Harga Minyak Turun

Sementara, Iran menuding Arab Saudi dan Rusia melanggar kesepatan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) terkait pemangkasan produksi karena memproduksi minyak mentah lebih banyak. Iran menilai penambahan produksi dari kedua negara tidak akan cukup untuk menutup berkurangnya pasokan minyak dari Iran.

Sebagai catatan, OPEC dan sekutunya telah sepakat untuk membatasi produksi sejak Januari 2017 untuk mengatasi pasokan yang berlebih di pasar. Pada Juni 2018 lalu, OPEC sedikit melonggarkan kebijakan tersebut karena mendapat tekanan dari Presiden AS Donald Trumo untuk menahan kenaikan harga.

Analis Petrimatrix Olivier Jakob menilai rencana Arab Saudi untuk memproduksi minyak lebih banyak tidak akan banyak mengubah kondisi di pasar.

Menurut Jakob, Arab Saudi masih sangat malu-malu sementara pasar ingin melihat sesuai yang lebih proaktif.

“Karenanya, pasar tidak banyak bereaksi terhadap berita utama (headlines) yang berbeda,” ujar Jakob. (sfr/agi)

Source : cnnindonesia.com