Harga Minyak Brent Berhasil Menguat di Tengah Gejolak Pasar

Harga Minyak Brent Berhasil Menguat di Tengah Gejolak PasarHarga minyak mentah brent berhasil naik 0,4 persen menjadi US$79,57 per barel, sedangkan harga minyak berjangka AS turun 0,15 persen menjadi US$72,13 per barel.

Jakarta, CNN Indonesia — Harga minyak mentah Brent berhasil menguat usai mengalami gejolak pada perdagangan Selasa (22/5), waktu Amerika Serikat (AS). Penguatan harga dipicu oleh kekhawatiran terhadap pasokan di Venezuela dan Iran. Di sisi lain, komentar Presiden AS Donald Trump yang menyatakan bahwa ia tidak puas dengan pembahasan perdagangan AS-China menahan kenaikan harga.

Dilansir dari Reuters, Rabu (23/5), harga minyak mentah berjangka Brent naik US$0,3 atau 0,4 persen menjadi US$79,57 per barel. Pekan lalu, harga minyak acuan global tersebut mampu menembus level US$80 per barel untuk pertama kalinya sejak November 2014.

Sementara, harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate merosot US$0,11 atau 0,15 persen menjadi US$72,13 per barel. Selama sesi perdagangan, WTI sempat menyentuh US$72,83 per barel, tertinggi sejak November 2014.

Harga minyak berjangka kembali dari level tertinggi selama sesi perdagangan pada perdagangan siang setelah Trump menyatakan bahwa ia tidak puas dengan pembahasan perdagangan antara AS dan China baru-baru ini. Namun, ia tetap membuka pintu untuk negosiasi lebih lanjut.

Lihat juga:Harga Stabil Tak Mampu Bikin Pasar Ramai di Awal Ramadan

“Perdagangan merupakan faktor positif bagi permintaan energi,” ujar Analis Price Futures Group di Chicago Phil Flynn.

Menurut Flynn, jika perang dagang terjadi, pertumbuhan ekonomi bisa terhambat. Pada akhirnya, permintaan minyak berisiko menurun.

Harga juga terbebani lebih jauh saat Trumo menyatakan bahwa terdapat perubahan subtansial pada rencana pertemuannya dengan Presiden Korea Utara Kim Jong Un yang batal diselenggarakan sesuai rencana pada 12 Juni 2018 mendatang. Hal itu dipicu oleh kekhawatiran terhadap Kim yang enggan untuk menghentikan program senjata nuklirnya.

Selanjutnya, harga terdongkrak oleh keputusan pemerintah AS untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Venezuela menyusul terpilihnya kembali Presiden Nicolas Maduro pada akhir pekan lalu. Para analis memperkirakan tindakan ini bakal menurunkan produksi minyak Venezuela yang saat ini telah berada di level terendahnya sejak beberapa dekade.

Lihat juga:Di Balik Krisis Ekonomi & Politik Venezuela

Faktor lain yang menopang harga juga berasal dari sentimen terhadap potensi turunnya ekspor minyak Iran menyusul keputusan pemerintah AS keluar dari perjanjian nuklir dengan Iran.

Pada Senin lalu, AS meminta Iran melakukan tindakan drastis dengan menghentikan program nuklir hingga menarik dari perang sipil Suriah. Jika Iran tidak melakukannya, Iran akan menghadapi sanksi ekonomi yang berat. Namun, Iran tak menggubris ultimatum AS dan salah seorang pejabat Iran menilai bahwa permintaan tersebut menunjukkan bahwa AS ingin ada perubahan rezim pemerintahan di Iran.

Sebagai catatan, Venezuala dan Iran merupakan anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). OPEC dan sekutunya telah memangkas produksi minyak sejak Januari 2017 untuk menghilangkan kelebihan pasokan pada medio 2014 yang memicu kejatuhan harga minyak.

Lihat juga:Tambah Subsidi, Sri Mulyani Tilik Keuangan Pertamina dan PLN

Sumber dari OPEC dan industri perminyakan mengatakan kepada Reuters bahwa OPEC kemungkinan akan memutuskan untuk mengerek kembali produksi pada pertemuan Juni mendatang, dipicu oleh kekhawatiran terhadap turunnya pasokan dari Iran dan Venezuela. Selain itu, keputusan itu juga dipicu oleh kekhawatiran AS bahwa reli kenaikan harga minyak terjadi terlalu tinggi.

Pemangkasan pasokan OPEC secara besar-besaran telah mengurangi kelebihan pasokan di negara maju sesuai tujuan awal kesepakatan tersebut, dan persedian minyak terus menurun.

Persediaan minyak mentah AS diramal bakal merosot hingga 1,6 juta barel pekan lalu yang bakal menjadi penurunan selama tiga pekan berturut-turut.

Lebih lanjut, kenaikan pasokan minyak AS turut menahan kenaikan harga minyak dunia. Produksi minyak shale AS diperkirakan bakal mencapai rekor tertinggi pada Juni mendatang. (agi)

Source : cnnindonesia.com