BP Proyeksi Konsumsi Minyak Tak Bakal Pulih usai Pandemi

Perusahaan migas BP menilai puncak konsumsi minyak dunia telah terjadi tahun lalu. Permintaan akan terus merosot selama beberapa tahun ke depan.Perusahaan migas BP menilai puncak konsumsi minyak dunia telah terjadi tahun lalu. Permintaan akan terus merosot selama beberapa tahun ke depan.

Jakarta, CNN Indonesia — Perusahaan migas multinasional BP menilai puncak konsumsi minyak dunia telah lewat dan terjadi pada tahun lalu. Ke depan, pasar minyak global diprediksi tak akan pernah pulih dari pandemi virus corona.

Dalam laporan baru yang diterbitkan Senin (14/9), perusahaan tersebut menjabarkan tiga skenario permintaan energi. Ketiga skenario tersebut memperkirakan penurunan permintaan minyak selama 30 tahun ke depan.

Dikutip CNN Business, laporan tersebut berbanding terbalik dari tahun sebelumnya di mana BP memperkirakan pertumbuhan permintaan minyak akan terus berlanjut hingga tahun 2030-an.

Lihat juga :Harga Pertalite Rp6.450 per Liter Bakal Hadir di Jabodetabek

Skala dan kecepatan penurunan tersebut, menurut laporan BP, akan didorong oleh peningkatan efisiensi dan elektrifikasi transportasi jalan.

Dalam skenario “bisnis seperti biasa”, di mana kebijakan pemerintah dan preferensi sosial berevolusi dengan cara yang sama seperti sebelumnya, permintaan minyak hanya akan tipis pascapandemi. Kemudian, permintaan melandai pada 2025 dan mulai menurun setelah 2030.

Dalam dua skenario lain, di mana pemerintah mengambil langkah lebih agresif untuk mengekang emisi karbon dan ada perubahan signifikan dalam perilaku masyarakat, permintaan minyak tidak pernah pulih sepenuhnya usai pandemi.

BP sendiri telah memperluas investasinya ke energi baru dan terbarukan seperti pembangkit tenaga angin lepas pantai untuk memberi daya pada 2 juta rumah di Amerika.

Lihat juga :Harga Pertalite Turun Rp6.450 Hanya Berlaku di Tangsel

Selain itu, BP juga mulai menjauh dari minyak mentah setelah menempuh satu abad eksplorasi. Perusahaan yang masih memproduksi 2,6 juta barel minyak sehari itu secara tiba-tiba berbalik dari bisnis intinya menuju energi terbarukan.

Pekan ini, BP akan memberi investor lebih banyak detail tentang strategi baru yang melibatkan peningkatan 10 kali lipat dalam investasi energi rendah karbon tahunan menjadi US$5 miliar pada tahun 2030, ketika mereka memperkirakan produksi minyak dan gasnya turun 40 persen dari level 2019.

Pergeseran tersebut mencerminkan dampak mendalam yang ditimbulkan pandemi terhadap pasar energi global. Para analis bahkan berpendapat krisis ini akan mempercepat peralihan dari bahan bakar fosil ke bentuk energi terbarukan. Hal ini terutama karena pemerintah dan investor mulai menekan banyak perusahaan untuk mengatasi krisis iklim di tengah semakin banyaknya bukti kerusakan yang ditimbulkan.

Gelombang kedua Covid-19, yang menyebabkan beberapa pemerintah memperketat pembatasan sosial, juga meningkatkan kemungkinan perubahan perilaku menjadi permanen. Misalnya, BP berpandangan bahwa meningkatnya aktivitas work from home akan membuat tingkat permintaan untuk mobilitas atau perjalanan orang berkurang.

Lihat juga :Pertamina Ekspor 200 Ribu Barel BBM ke Malaysia

Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) sebelumnya juga memprediksi bahwa permintaan minyak dunia akan tumbuh lebih lambat dari perkiraan pada 2021. Selain itu, kontraksi permintaan juga diperkirakan lebih tajam tahun ini dari perkiraan sebelumnya.

Namun, Sekretaris Jenderal OPEC Mohammad Barkindo mengatakan mereka masih berharap permintaan meningkat pada paruh pertama 2021.

“Kami tetap optimis dengan hati-hati bahwa yang terburuk telah berakhir dan apa yang kami hadapi adalah pemulihan,” kata Barkindo. “Tapi bentuk dan bentuk pemulihan itu masih diperdebatkan,” imbuhnya.

Investor Tuntut Energi Ramah Lingkungan

Di saat yang sama, beberapa investor mendesak lebih banyak aksi dari perusahaan seperti BP, Chevron (CVX), BHP (BBL) dan ExxonMobil (XOM) untuk beralih ke energi ramah lingkungan.

Lihat juga :Faisal Basri Ramal Defisit Neraca Dagang Energi Capai US$80 M

Sebuah kelompok yang mewakili investor dengan aset lebih dari $47 triliun mengirimkan surat kepada ratusan perusahaan migas yang dianggap sebagai pencemar terburuk di dunia pada Senin (15/9).

Mereka meminta agar perusahaan migas menerapkan strategi untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050.

Climate Action 100+ mengatakan perusahaan secara kolektif bertanggung jawab atas hingga 80 persen emisi gas rumah kaca industri global. Kelompok tersebut juga mengancam akan menerbitkan laporan yang mengevaluasi laporan yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan minyak tahun depan sebagai rekomendasi kepada investor terkait energi bersih.

“Tolok ukur ini akan memastikan jelas perusahaan mana yang bertindak terhadap perubahan iklim sebagai masalah bisnis yang kritis,” kata Stephanie Pfeifer, CEO dari Kelompok Investor Institusional untuk Perubahan Iklim yang berbasis di London dalam sebuah pernyataan.

Source : cnnindonesia.com